Bulan Menjauh dari Bumi: Fakta Ilmiah NASA dan Dampaknya bagi Masa Depan Gerhana

Bulan Bergerak Menjauhi Bumi, NASA Ungkap Dampaknya bagi Masa Depan

Bulan, satu-satunya satelit alami Bumi, ternyata perlahan-lahan menjauh dari planet kita.

Fakta ini bukan sekadar teori, tetapi hasil dari pengamatan langsung yang dilakukan sejak era misi Apollo pada tahun 1960–1970.

Dalam rentang waktu jutaan tahun, perubahan ini akan membawa dampak besar bagi rotasi Bumi, fenomena pasang surut, hingga berakhirnya gerhana matahari total.

Penelitian yang dikutip dari IFL Science pada Selasa (7/10/2025) menyebutkan bahwa Bulan menjauh dari Bumi dengan kecepatan sekitar 3,8 sentimeter per tahun.

Perhitungan ini berasal dari hasil eksperimen Lunar Laser Ranging yang dilakukan NASA, menggunakan reflektor yang ditinggalkan di permukaan Bulan oleh para astronot misi Apollo 11, 14, dan 15.

Reflektor tersebut berfungsi seperti cermin yang memantulkan sinar laser dari Bumi kembali ke sumbernya.

Dengan mengukur waktu tempuh pantulan cahaya tersebut, ilmuwan dapat mengetahui jarak Bumi dan Bulan dengan presisi tinggi.

Hasil pengukuran selama puluhan tahun menunjukkan jarak itu terus bertambah, artinya Bulan benar-benar bergerak menjauh.

Orbit Bulan terhadap Bumi tidaklah sempurna. Jalurnya sedikit miring sekitar 5 derajat terhadap orbit Bumi mengelilingi Matahari.

Perbedaan kemiringan ini membuat terjadinya berbagai fenomena seperti gerhana dan pasang surut air laut.

Namun karena interaksi gravitasi yang kompleks antara ketiganya, energi rotasi Bumi perlahan berpindah ke Bulan, mendorongnya menjauh sedikit demi sedikit.

Menurut ilmuwan NASA Richard Vondrak, efek paling nyata dari fenomena ini akan terjadi pada masa depan yang sangat jauh.

"Sekitar 600 juta tahun mendatang, Bumi akan menyaksikan gerhana matahari total untuk terakhir kalinya," ujarnya dalam wawancara pada 2017.

Setelah itu, ukuran Bulan akan tampak terlalu kecil di langit untuk sepenuhnya menutupi Matahari seperti yang terjadi saat ini.

Perbandingan ukuran antara Matahari dan Bulan sebenarnya hanya kebetulan kosmis.

Matahari memiliki diameter sekitar 400 kali lebih besar dari Bulan, namun juga berjarak sekitar 400 kali lebih jauh dari Bumi.

Karena itu, keduanya tampak hampir sama besar di langit.

Inilah sebabnya manusia dapat menikmati fenomena gerhana matahari total yang menakjubkan.

Tetapi ketika Bulan menjauh, ukuran tampaknya akan mengecil, menghasilkan gerhana cincin atau bahkan tidak ada gerhana total sama sekali.

Empat miliar tahun lalu, ketika Bulan baru terbentuk akibat tabrakan besar antara proto-Bumi dan benda langit berukuran mirip Mars bernama Theia, jaraknya jauh lebih dekat dari sekarang.

Dalam kondisi itu, Bulan tampak tiga kali lebih besar di langit dan menghasilkan pasang surut ekstrem.

Seiring waktu, interaksi gravitasi membuat Bulan perlahan menjauh, hingga mencapai jarak rata-rata saat ini sekitar 384.400 kilometer.

Efek menjauhnya Bulan tidak hanya memengaruhi fenomena gerhana, tetapi juga memengaruhi rotasi Bumi.

Ketika Bulan mengorbit, ia menciptakan gesekan pasang surut yang memperlambat rotasi planet kita secara perlahan.

Diperkirakan satu hari di Bumi akan semakin panjang sekitar 1,4 milidetik setiap abad.

Meskipun perubahan ini kecil, dampaknya akan terasa signifikan dalam skala waktu geologis jutaan tahun.

Fenomena ini juga menjadi salah satu bukti bagaimana sistem Tata Surya kita bersifat dinamis.

Orbit planet dan satelit tidaklah tetap, tetapi terus berubah akibat gaya gravitasi dan pertukaran momentum antar benda langit.

Dalam konteks Bumi dan Bulan, perpindahan energi rotasi menyebabkan Bumi melambat sementara Bulan meluncur lebih jauh.

Bagi manusia modern, perbedaan jarak ini hampir tidak terasa.

Namun, teknologi pengukuran presisi tinggi memungkinkan ilmuwan memantau perubahan sekecil apa pun.

Data ini menjadi dasar penting dalam memahami evolusi sistem Bumi-Bulan, sekaligus membantu memperkirakan dinamika pasang surut yang berdampak pada kehidupan laut dan stabilitas iklim jangka panjang.

IFL Science menjelaskan bahwa tanpa Bulan, stabilitas sumbu rotasi Bumi akan berkurang drastis.

Bulan berperan penting dalam menjaga kemiringan Bumi tetap sekitar 23,5 derajat

Jika Bulan terlalu jauh atau hilang sama sekali, sumbu rotasi bisa bergoyang secara ekstrem, menyebabkan perubahan iklim global yang tidak menentu.

Selain itu, hubungan gravitasi Bumi-Bulan juga memengaruhi sistem geologi dan biologis planet kita.

Pasang surut yang dihasilkan oleh gaya gravitasi Bulan memicu sirkulasi nutrien di laut dan memengaruhi ritme biologis banyak makhluk hidup, termasuk manusia.

Oleh karena itu, meskipun pergerakan menjauh ini lambat, ia tetap memiliki konsekuensi besar terhadap kehidupan di Bumi dalam jangka panjang.

Dalam jangka waktu beberapa ratus juta tahun ke depan, ilmuwan memperkirakan orbit Bulan akan menjadi sedikit lebih besar dan stabil.

Namun, jika kecepatan menjauh tetap konstan, maka dalam waktu sekitar 50 miliar tahun, Bulan akan terlalu jauh untuk terkunci pasang surut pada Bumi.

Untungnya, pada saat itu Matahari kemungkinan sudah memasuki fase raksasa merah dan menelan planet-planet bagian dalam, termasuk Bumi.

Fenomena Bulan menjauh dari Bumi menjadi salah satu contoh paling menarik dari dinamika astronomi yang terus berlangsung.

Ia menunjukkan bahwa tidak ada yang benar-benar statis di alam semesta. Bahkan hubungan antara planet dan satelit alami pun terus berubah seiring waktu, memberi kita pelajaran berharga tentang keseimbangan kosmos.

Bagi dunia sains, penelitian ini menjadi dasar untuk memahami bagaimana sistem planet di luar Tata Surya mungkin berevolusi.

Beberapa eksoplanet yang ditemukan memiliki bulan besar, dan studi tentang sistem Bumi–Bulan memberikan petunjuk penting tentang bagaimana kehidupan dapat bertahan di lingkungan yang stabil secara gravitasi.

Saat ini, para ilmuwan terus menggunakan teknologi laser dan pengamatan teleskopik canggih untuk memantau jarak Bulan dengan ketelitian milimeter.

Setiap pantulan laser dari reflektor Apollo adalah pengingat bahwa meskipun kita telah meninggalkan jejak di Bulan, ia perlahan-lahan meninggalkan kita — sekitar 3,8 cm lebih jauh setiap tahunnya.

Fenomena sederhana namun monumental ini memperlihatkan betapa rapuh dan dinamisnya keseimbangan kosmik tempat kita berada.

Suatu hari nanti, manusia masa depan mungkin hanya bisa mengenang gerhana matahari total sebagai bagian dari sejarah langit yang tidak akan pernah kembali terulang.

Sumber: NASA, IFL Science, CNBC Indonesia.

Previous Post